Thursday, December 2, 2010

Ceritera Rakyat

KISAH LEBAI MALANG
(Cerita Rakyat Sumatra Barat)
(Adapted from: Folk Tales from Indonesia, Retold by Dra.SDB. Aman )

Ceritera-cerita rakyat atau folk tales merupakan salah satu peninggalan budaya masyarakat kitajaman dahulu yang sekarang hampir punah karena  nyaris “dilupakan” orang. Ceritera-    ceriterarakyat, biasa diceriterakan secara turun temurun dari mulut ke mulut, baik berupa pantun ataupunprosa yang tidak diketahui siapa pengarangnya. Ceritera-ceritera rakyat ini baik sekali untuk konsumsi para siswa seusia SD sebagai bahan bacaan di sekolah.

Setiap daerah di wilayah Nusantara ini sangat kaya dengan ceritera rakyat. Semua  ceriteranya  mengandung suri tauladan atau nasehat berupa  hikayat, kisah heroic pembela kebenaran, asal muasal kejadian suatu daerah atau keadaan. Misalnya bagaimana terjadinya sebuah situ, gunung, lembah, sungai yang kesemuanya mengandung cermin bernafaskan pendidikan untuk tidak melakukan atau harus melakukan sesuatu demi keselamatan hidup. Seperti hikayat Hang Tuah, Si Malim Kundang, Tangkuban Perahu, Lebai Malang dan sebagainya.

Kali ini saya akan me-retell kisah Lebai Malang yang saya anggap baik untuk diceriterakan sang nenek kepada cucunya sebelum bobo. Dalam alur ceriteranya terkandung sifat-sifat keserakahan dan oportunis dari seorang manusia demi mementingkan kehendak dirinya sendiri. Dan akibatnya dirasakan sendiri,  dia tidak mendapatkan apa-apa.
Alkisah, ada seorang lelaki yang tinggal di  sebuah dusun di daerah Sumatra Barat bernama Lebai. Sesungguhnya Lebai itu bukan nama. Di masyarakat kita Lebai itu adalah jabatan atau profesi, yaitu orang yang biasanya menikahkan pasangan penganten. Bisa saja dia juga adalah guru ngaji. Tetapi dalam ceritera ini Lebai sudah menjadi tokoh ceritera rakyat yang berkembang dari mulut ke mulut sepanjang jaman.

Rumah sang Lebai berada di pinggiran sebuah sungai antara dua dusun yang padat penduduknya, satu di sebelah utara dan yang satu lagi di sebelah selatan sungai   Dia juga adalah guru ngaji di kampungnya yang cukup dihormati. Dan oleh karena itu apabila ada hajatan atau kenduri alias pesta di kampung, sang Lebai selalu mendapatkan undangan kehormatan.

Pada suatu hari ada dua keluarga kaya, yang satu penduduk di desa sebelah utara dan yang satu lagi di sebelah selatan sungai, mengadakan selamatan pada hari dan jam yang sama. Orang-orang kaya dan terpandang serta orang-orang miskin di kampung sekitar diundang seluruhnya. Sebagai guru ngaji yang pada saat itu figur seorang guru ngaji sangat dihormati di masyarakat, sang Lebai mendapatkan undangan dari kedua keluarga tersebut.

Di hari pesta itu pada pagi yang cerah, sang Lebai dandan dengan pakaian yang terbaiknya untuk memenuhi undangan dari kedua keluarga itu. Kemudian ia sendiri bersiap menuju kendaraan kesayangannya yaitu sebuah perahu kecil sebagai alat transportasi yang cukup praktis dan hemat untuk penduduk di pinggir sungai. Ketika berjalan menuju perahunya, ia belum bisa memutuskan undangan mana yang harus didahulukan, ke utarakah yang berarti hulu sungai atau ke selatankah yang berarti ke hilir.

Sambil berjalan menuju perahu, sifat rakusnya muncul di benaknya. ”Ke hulu sungai, paling dekat dan masakannya enak cocok dengan selerku, tetapi keluarga ini hanya memotong seekor kerbau. Lagipula keluarga ini kurang mengenalku. Dan karenanya jangan-jangan mereka kurang menghormatiku,” bisik hatinya sendiri. Menurut adat istiadat penduduk di desa itu, kehormatan ditunjukkan dengan menyiapkan kepala kerbau untuk dihadiahkan kepada orang yang dihormati, dan biasanya sang guru ngaji.
”Sebaliknya, penduduk desa selatan di hilir sungai cukup mengenalku, Cuma agak jauh dari sini. Keluarga ini memotong dua ekor kerbau. Berarti aku akan memperoleh dua kepala kerbau, namun sayang masakannya nggak enak,” pikir sang Lebai. Sambil berjalan dia terus menimbang-nimbang, ”ke utarakah atau selatankah ?”
Akhirnya dia memutuskan, ”ke utara sajalah dulu, yang paling dekat, sehabis itu baru aku ke selatan.” Dan iapun mendayung ke arah hulu sungai. Banyak sekali perahu yang sama-sama mmenuju ke sana dan banyak pula yang berpasan menuju arah sebaliknya. Orang-orang berpakaian indah-indah dengan semangat berpesta nan gembira, bernyanyi, saling menyahut dan melambaikan tangan satu sama lain. Siapapun yang menyelenggarakan pesta di kampung itu selalu dijadikan ajang pertemuan sesama warga kampung, seluruh warga dalam aura pesta ria.

Ketika sang Lebai baru berkayuh dua kelokan, dan tinggal setengah jalan lagi ke tempat pesta, dia berobah pikiran, ”Sayang sekali pesta begitu besar kok bareng-barengan. Kenapa aku mesti ke utara ? Di sana hanya satu kepala kerbau. Kenapa aku tidak ke selatan lebih dulu ? Di sana ada dua kepala kerbau, tambahan lagi orang-orang di sana lebih mengenal aku. Jadi aku pasti mendapatkan kehormatan besar di sana. Apalagi menurut orang-orang, di sana para tamu selalu dibagi uang dan bermacam-macam hadiah.”

Tanpa banyak pertimbangan lagi sang Lebai memutar balik haluan perahunya. Ketika ia hampir sampai di tempat tujuan, ia banyak berpapasan dengan orang-orang yang berkayuh menuju utara.”Hai, pak Lebai mau ke mana ? Kita semua mau ke utara ,” sahut mereka bareng-bareng.

”Mereka benar,” pikir Lebai. ”Mengapa aku harus ke selatan kalau di sana hanya motong kebo kurus ? Katanya masakannya nggak enak, tentu tidak bisa memuaskan seleraku.” Dengan cepat dia balikkan perahunya ke utara lagi dan dia mengayuh sekencang-kencangnya. Tetapi ketika ia sampai di tempat tujuan, ia melihat orang-orang  sedang menuju pulang. Ia ingin tahu kenapa, dan sang Lebai dapat jawaban, ”pestanya sudah selesai, mendoapun sudah selesai.”

Lebai  malang ! Hilanglah sudah kepala kerbau yang diharapkannya. Baginya tak ada lagi yang lebih baik dilakukannya adalah balik lagi ke selatan. Barangkkali di sana pestanyna belum selesai, masih ada harapan untuk mendapatkan dua  kepala kerbau, hadiah uang dan bingkisan-bingkisan lainnya walaupun makanannya tidak enak.

Hari sudah siang, matahari sudah naik dan Lebai itu berkeringat serta kelelahan. Tapi ia tidak memperdulikannya.  Ia masih belum kehilangan harapan. Iapun mendayung ke arah selatan dengan sisa-sisa tenaganya. Lapar dan haus sangat mengganggunya. Namun ia tidak perduli pula. Ternyata di selatanpun pesta sudah bubar. Ingin ia berteriak karena kecewa. Sekarang, hilanglah sudah harapan. Kepala kerbau, uang dan hadiah-hadiah lain yang diharapkannya lenyaplah sudah. Akhirnya dia mengutuk dirinya sendiri, ”mengapa aku terlalu rakus.”

Pulanglah sang Lebai ke rumahnya. Untuk mengganjal perutnya ia membuka tempat nasi. Di sana ada sebungkus nasi dingin dan sepotong ikan. Lalu ia berpikir, ”ah lebih baik aku mancing sekarang. Kalau dapat ikan akan aku jual dan uangnya dibelikan daging. Kalau tak dapat ikan aku akan berburu rusa, untuk mendapatkan daging.”  Pergilah dia memancing dengan berbekal sebungkus nasi dingin dan seperangkat alat pancing, tak lupa anjing setianya dibawa pula.

Sampai di tempat memancing, mulailah dia memancing.Namun tak ada seekor ikanpun yang nyangkut di kailnya. Ia lapar, dan dibukalah bekalnya. Ketika mau menyuap, lauk yang dibawanya  jatuh ke kali. Diapun mencoba meraihnya, namun byur.. dia kecebur kali. Dia tidak berhasil meraih lauk yang  jatuh itu. Ketika dia naik ke perahunya, nasinyapun habis dimakan anjingnya.

Lebai Malang ! Hari kemujuran sedang tidak berpihak kepadanya. Ia berbisik kepada dirinya sendiri, ”Kalau orang lain berpesta pora dengan makanan-makanan yang enak dan membawa pula oleh-oleh, hari ini bagiku berakhir dengan kemalangan.” Dengan segala kesedihannya ia menyadari bahwa seharusnya ia tidak berharap terlalu berlebihan. Kemudian orang-orang di kedua desa itu mendengar apa yang terjadi kepada sang Lebai. Sejak itulah ia dijuluki Lebai Malang, dan jadilah ceritera rakyat yang berkembang dari mulut ke mulut di tengah-tengah masyarakat.
Note:
Setelah baca, silakan comment di bawah. Tunggu dongeng berikutnya !
Terima kasih.

0 comments:

Post a Comment

 

Site Info

Followers

MayaNets Copyright © 2010 Blogger Template Sponsored by Trip and Travel Guide